Kala itu aku dapet sebuah pesan di WhatsApp. Tapi karena waktu itu aku lagi repot dengan deadline kerjaan, jadi aku tunda dulu pesannya. Ketika udah lenggang, baru aku buka pesan itu. Ternyata dari Anis, adik kelasku di kampus yang deket denganku.
“Ka, aku lagi ada masalah. Aku pengen cerita. Kapan bisa ketemu?”.
Masalah? Ada apa dengan dia? Aku pikir, selama ini dia baik-baik saja. Apakah ada hubungannya dengan status-status bernada galau akhir-akhir ini? Terakhir chatting, dia juga katanya lagi sakit. Aku khawatir sakit itu imbas dari pikiran serta status galaunya.
“Secara fisik insya Allah, baik-baik aja Ka. Tapi pikiran mah selalu ada terus”, jawabnya kala itu ketika aku tanya kabarnya.
“Tapi jangan terlalu banyak pikiran juga yang ngga terlalu penting, pikirin yang penting-penting aja, yang bermanfaat, dan tetap positive thingking. Semoga kamu baik-baik aja ya”, pesanku, sebagai balasan dari pesannya sebelumnya.
“Iya Ka, makasih. Doain aja biar aku baik-baik aja”, jawabnya kala itu.
Ketika aku sedang ngetik mau membalas pesan WhatsApp-nya yang sekarang ini, dia udah keburu datang ke tempatku. Aku kaget dengan kedatangannya yang tiba-tiba. Dia datang dengan muka murung dan sedih. Penampilannya terlihat acak-acakan, tidak seperti biasanya yang rapi. Aku seperti melihat dia dengan sosok yang beda dengan biasanya.
“Ka, aku serius lagi ada masalah. Kenapa kakak lama banget responnya? Kenapa selalu mentingin kerjaan terus daripada aku? Apa sekarang Aku udah ngga penting lagi?”, kata dia dengan nada tersedu-sedu, dan air matanya yang mulai menetes.
“Maaf Nis, tadi aku emang lagi sibuk, dan ….”, kataku menggantung, belum kelar, tapi dia udah keburu pergi lagi meninggalkanku. Duh, kenapa dia ngga mau denger penjelasanku.
Aku pun langsung mengejar mengikutinya, hingga tiba di sebuah rumah makan. Kini kami sudah duduk berhadapan dengannya, sambil menunggu pesanan yang kami pesan. Aku penasaran dengan masalah yang sedang dia hadapi dan apa yang ingin dia ceritakan.
“Nis, kamu kenapa?”, tanyaku lagi.
Dia mulai membuka mulut, sambil menyeka sisa air matanya, “Sebenernya Aku….”.
“Kami baik-baik saja”, jawab sebuah suara yang tiba-tiba datang di antara aku dan Anis.
Suara itu milik seorang laki-laki tegap berpenampilan rapi. Dia tiba-tiba datang dan ikut duduk di antara kami. Eh, lalu apa maksud dari kata ‘kami’ yang tadi dia (seorang laki-laki) ucapkan? Kami = lelaki itu dengan Anis? Ah, kenapa aku jadi cemburu begini.
Aku dan Anis saling pandang penuh tanda tanya, sebelum akhirnya aku dan dia pun menatap laki-laki misterius itu. Sedangkan lelaki itu malah menatapku.
“Terimakasih ya, selama ini kamu udah baik sama Anis, jagain dia, dan nasehatin dia”, ucap lelaki misterius itu kemudian.
Nah, lho, kenapa dia bisa berkata begitu padaku? Padahal aku tidak mengenal lelaki itu. Tapi entahlah dengan Anis, naluriku menebak sepertinya dia baru kenal dengan lelaki itu. Aku pun terdiam, hanya mengangguk dan tersenyum sebagai perwakilan jawaban perkataannya.
Aku kembali menatap Anis yang sekarang sedang menggigit bibir seolah ada rasa getir dengan keadaan kami bertiga ini.
“Nis…”, kataku terpaku. Sebenarnya aku ingin menanyakan lelaki itu siapa. Tapi sejak kedatangan lelaki itu, dia jadi kikuk, matanya penuh tanda tanya seperti ingin mencurahkan sesuatu rahasia yang selama ini dia pendam. Dia seperti ngga enakan mau cerita kalo masih ada lelaki misterius itu di hadapannya.
“Biarkan kami di sini. Mungkin dia butuh waktu untuk menenangkan hati”, malah lelaki itu yang menjawab.
“Sekali lagi, terima kasih, kamu udah baik sama dia”, sambung lelaki itu sambil tersenyum.
“Ya, sama-sama. Oke, kalo gitu aku pamit. Semoga kalian baik-baik saja”, jawabku sambil bangkit dari tempat duduk.
Aku memandang Anis yang sekarang juga ikut bangkit dari tempat duduknya. Aku mendekatinya sambil mengelus bahunya, “Take care. Semoga kamu baik-baik aja. Aku hanya bisa doain yang terbaik buat kamu”, kataku lirih.
“Kak…!”, pintanya mengiba, tatapannya seperti berkata ‘jangan pergi dulu’. Tapi aku juga tetep ngga enakan dengan perintah lelaki misterius itu yang sekarang masih memandangiku untuk segera pergi.
“Jaga diri baik-baik ya”, jawabku.
Aku pun beranjak pergi meninggalkan Anis dan juga lelaki misterius itu.
Aku masih memikirkan kejadian hari itu. Anis yang lagi ada masalah tapi ngga jadi cerita, tapi malah hadir lelaki misterius itu. Sesekali aku menoleh ke belakang, berharap masih ada bayangan Anis di sana. Tapi nihil. Mungkin di sana mereka sedang menduskusikan sesuatu yang belum aku mengerti. Ah, sudahlah…. Tetap berpikir positif aja. Aku terus berjalan. Hingga di tengah jalan, terdengar sebuah gema suara dari sekitar. “Kring… kring… kring….!”
Aku mulai sadar. Ternyata itu suara alarm dari HPku. Aku melihat jam ternyata sudah pukul 04:30 AM. Jadi tadi itu cuma mimpi? Tapi kejadiannya seperti sungguh nyata. Perasaanku campur aduk.
Aku segera bangkit mengambil air wudhu dan segera melaksanakan shalat shubuh. Ya Allah, tenangkanlah hati kami ini.
***
Sampe saat ini aku masih mengingat mimpi itu dengan detail. Kadang aku berpikir jika mimpi itu nyata, apa yang harus aku lakukan? Barangkali ini jadi muhasabah (intropeksi diri) buatku sendiri, agar lebih peka terhadap sesuatu, dan tetap berpikir positif.
Saat itu pula aku jadi kepikiran tentang dia. Bagaimana keadaan dia sekarang? Apa yang sebenarnya ingin dia ceritakan kepadaku waktu itu? Apakah ada rahasia yang belum aku ketahui? Bagaimana dengan masalahnya? Dan beberapa pertanyaan lainnya.
Seiring aku bertanya, beriringan pula aku berharap dan berdoa. Semoga dia baik-baik saja. Mudahkanlah segala urusannya. Lancarkan segala aktivitasnya. Dan semoga dia bahagia. Amin.
***
Oleh : Arif Erha
@KosanLegoso, Ciputat
23 Maret 2016
(Terinspirasi dari mimpi, 20/3/2016)